ANALISIS YURIDIS
TENTANG SUSUNAN DAN KEDUDUKAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA SEBAGAI LEMBAGA
LEGISLATIF
DALAM PEMERINTAHAN
DESA
MENURUT PERATURAN PEMERINTAH
NOMOR 72 TAHUN 2005 TENTANG DESA
Oleh : Arfa’i, S.H.M.H.[1]
Bagian Hukum Tata
Negara Fakultas Hukum
Universitas Jambi
ABSTRAK[2]
Pemerintahan Desa merupakan suatu
pemerintahan yang terkecil dalam sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia.
Dalam hal ini, pemerintahan desa sebagai pihak yang terdepan dalam pembangunan
yang sekaligus sebagai tolak ukur dari tercapainya tujuan dari Negara Republik
Indonesia sebagai mana diatur dalam Alinea ke IV UUD 1945 ; melindungi segenap
bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa,
mensejahterakan masyarakat dan
ikut serta dalam mewujudkan perdamaian dunia. Sebagai langkah untuk mewujudkan tujuan tersebut maka, dikeluarkan peraturan pemerintah Nomor 72 tahun 2006 tentang desa. Peraturan tersebut menegaskan bahwa dalam pemerintahan desa terdapat Badan Permusyawaratan Desa yang mempunyai fungsi dan wewenang sebagaimana dimiliki oleh Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga legislatif.
ikut serta dalam mewujudkan perdamaian dunia. Sebagai langkah untuk mewujudkan tujuan tersebut maka, dikeluarkan peraturan pemerintah Nomor 72 tahun 2006 tentang desa. Peraturan tersebut menegaskan bahwa dalam pemerintahan desa terdapat Badan Permusyawaratan Desa yang mempunyai fungsi dan wewenang sebagaimana dimiliki oleh Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga legislatif.
Kata Kunci
: Lembaga legislatif, Badan Permusyawaratann Desa.
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Desa merupakan kesatuan masyarakat terkecil dalam struktur wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Dalam hal ini desa terbentuk dari beberapa
komponen sehingga menjadi satuan kenegaraan. Menurut Taliziruhu Ndraha (1999), komponen-komponen pembentuk desa sebagai
satuan kenegaraan itu terdiri dari wilayah desa, masyarakat desa dan pemerintah
desa. Ketiga komponen tersebut saling berkaitan dalam proses pencapaian tujuan
dari negara dan masyarakat desa. Hal tersebut meletakkan desa sebagai pihak
yang terdepan dalam pelaksanaan tujuan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan demikian akan memberikan hak
tersendiri bagi pemerintahan desa guna mencapai tujuan tersebut. Hak-hak yang
dimasud adalah hak untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya
sendiri. Hal ini senada dengan pendapat HAW Widjaja (2001) yang menyatakan penyelenggaraan desa/marga merupakan
substansi penyelenggraaan pemerintahan sehingga desa/marga memiliki kewenangan
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya.
Selanjutnya guna menjalankan kewenangan dalam mengatur dan mengurus
masyarakat, maka diperlukan perangkat-perangat penyelenggara pemerintahan desa.
Perangkat-perangkat tersebut adalah kepala desa, Badan permusyawaratan desa,
dan lembaga-lembaga masyarakat lainnya.
Menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang pemerintah daerah dan Peraturan pemerintah Nomor 72 tahun
2006 tentang desa, pasal 1 ayat (5) “ Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya
disebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah
yang berwewenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dan dihormati
dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia “. Kemudian dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2006 tentang desa pasal 1 ayat (6) menegaskan
bahwa yang dikatakan “ pemerintahan desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah desa dan
badan permusyawaratan desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dan
dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia “.
Sementara itu yang dimaksud dengan pemerintah desa diatur dalam pasal 1 ayat
(7) “ pemerintah desa atau yang disebut
dengan nama lain adalah kepala desa dan perangkat desa sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan desa “. Selanjutnya pasal 1 ayat (8) menyatakan
bahwa “ Badan Permusyawaratan Desa atau yang disebut dengan nama lain,
selanjutnya disingkat BPD, adalah lembaga yang merupakan perwujudan demokrasi
dalam penyelenggraan pemerintahan desa sebagai unsur penyelenggaraan
pemerintahan desa “.
Pasal-pasal tersebut memberikan
penjelasan bahwa dalam pemerintahan desa terdapat lembaga yang merupakan
perwakilan rakyat, sebagaimana halnya DPRD yang terdapat di Provinsi,
Kabupaten/kota. DPRD Provinsi, Kabupaten/kota memiliki susunan dan keududukan
sebagai lembaga negara sebagaimana diatur dalam
UU No 22 tahun 2003 tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR, DPD, DPRD.
Sementara itu BPD sebagai lembaga pemerintahan
desa juga memiliki susunan dan kedudukan
sebagai mana diatur dalam PP No 72 tahun 2006 tentang desa.
Sebagai badan permusyawaratan
desa, BPD mempunyai tugas, fungsi dan wewenang, antara lain kewenangan dalam
membentuk peraturan desa, pengawasan terhadap paraturan desa dan pemerintah
desa serta dalam hal menentapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa).
Mengenai Peraturan Desa itu sendiri pengaturannya disebutkan dalam Pasal 209 UU
No 32 tahun 2004, ditentukan bahwa ” BPD berfungsi menetapkan peraturan desa
bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat ”.
Selanjutnya hal serupa juga dijelaskan dalam PP No 72 tahun 2006 tentang desa,
pasal 34 ” BPD berfungsi menetapkan
peraturan desa bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi
masyarakat “. Kemudian diatur juga
mengenai petunjuk teknis pembentukan Peraturan Desa dalam Keputusan Menteri
Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2006 tentang pedoman pembentukan dan mekanisme
penyusunan paraturan desa.
Dari penjelasan diatas jelas bahwa peraturan
tersebut memberikan kewenangan bagi BPD untuk membentuk suatu Peraturan Desa, pengawasan
terhadap paraturan desa dan pemerintah desa serta dalam hal menentapkan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa) Hal tersebut menunjukkan bahwa
BPD adalah sebagai lembaga legislatif yang terdapat dalam pemerintahan desa. Selanjutnya untuk mengetahui fungsi, tugas dan
wewenang yang dimiliki oleh BPD dapat dilihat dalam susunan dan kedudukannya
yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang desa.
Berhubungan dengan hal tersebut terdapat suatu permasalahan dalam
inplementasinya yaitu kurangnya peran dan kesadaran dari anggota BPD dalam
menjalankan fungsi, tugas dan wewenangnya sebagai lembaga legislatif. Berbeda
halnya dengan anggota DPR/DPRD yang menjalankan fungsi, tugas dan wewenangnya
sebagai lembaga legislatif padahal antara BPD dengan DPR/DPRD adalah sama-sama
sebagai lembaga legislatif dalam sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia.
Sebagai contoh di Kecamatan Pelawan Singkut, Kabupaten Sarolangun, provinsi
Jambi yang terdiri dari 17 desa, belum terbentuk Peraturan Desa sebagaimana
yang dimaksud oleh UU No 32 tahun 2004 dan PP No 72 tahun 2006. Hal serupa
juga terjadi di 12 desa dalam Kecamatan
Rawas Ulu, Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan.
1.2. Permasalahan
Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam karya
ilmiah ini adalah :
1.
Bagaimana susunan dan kedudukan BPD sebagai lemabaga
legislatif dalam pemerintahan desa ditinjau dari teori trias politika
Montesqieu dan Undang-undang Nomor No 72 tahun 2005 tentang desa ?
2.
Apa saja foktor pendukung pelaksanaan susunan dan
kedudukan BPD sebagai lembaga legislatif dalam pemerintahan desa ?
II.
PEMBAHASAN
2. 1. Susunan dan kedudukan BPD sebagai lemabaga
legislatif dalam pemerintahan desa
ditinjau dari teori trias politika Montesqieu dan Undang-undang Nomor No
72 tahun 2005 tentang desa
Sehubungan dengan otonomi daerah yang dilaksanakan,
kemudian berpengaruh terhadap desa yang merupakan institusi yang otonom dengan
tradisi, adat istiadat dan hukumnya sendiri serta relatif mandiri. Hal ini
searah dengan pendapat Sadu Wasistiono (2002), yang mengatakan otonomi desa
adalah hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri yang muncul
bersamaan dengan terbentuknya persekutuan hukum tersebut, dengan batas-batas
berupa hak dan wewenang yang belum diatur oleh persekutuan masyarakat hukum
yang lebih luas dan tinggi tingkatannya, dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup
kesatuan masyarakat hukum bersangkutan. Secara yuridis Pasal 200 Undang-undang
Nomor 32 tentang Pemerintah Daerah, ayat (1) menyebutkan bahwa “ dalam
Pemerintahan Daerah kabupaten/kota dibentuk pemerintahan desa yang terdiri dari
Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa “. Dalam hal ini Pemerintah Desa
dikatakan sebagai lembaga eksekutif dan BPD disebut sebagai lembaga
legislative. Hal ini searah dengan pembagian kekuasaan sebagaimana yang
dikatakan oleh Montesquieu dalam bukunya Morrisan (2005), yang menyatakan bahwa
kekuasaan negara itu terbagi dalam tiga
jenis kekuasaan atau yang sering disebut dengan ajaran Trias Politika dimana
setiap bagiannya harus dipisahkan secara ketat .
Ketiga jenis kekuasaan itu adalah (1). Kekuasaan
membuat Peraturan Perundang-undangan ( Legislatif). (2). Kekuasaan
melaksanakan Peraturan Perundang-undangan (eksekutif). (3). Kekuaasaan
kehakiman ( Yudikatif)
Dalam implementasi Trias Politika dikenal dalam dua
pembagian kekuasaan, yaitu pemisahan kekuasaan
(saparation of power) dan pembagian kekuasaan (division of
power).
Sementara itu menurut pendapat Prof. Dr. Ismail Sunny (1986),
dalam bukunya Pergeseran Kekuasaan Eksekutif menyimpulkan bahwa pemisahan
kekuasaan dalam arti materil disebut pemisahan kekuasaan saparation of power
sedangkan dalam arti formal disebut pembagian kekuasaan division of
power.
Kemudian menurut M. Solly lubis ( 1982) tugas legislatif
diserahkan kepada badan perwakilan rakyat selaku badan legislatif dan
semata-mata boleh dijalankan oleh badan itu, tugas eksekutif menjadi wewenang
pemerintah semata-mata dan tugas peradilan atau yudikatif semata-mata dipegang
oleh badan-badan kehakiman.
Dengan demikian jika dihubungkan dengan Pemerintahan
Desa sebagaimana yang diatur didalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005
tentang Desa, teori Trias Politika terdapat dalam pelaksanaannya yaitu:
Pertama, lembaga legislatif dalam pemerintahan desa adalah BPD. Kedua, lembaga
eksekutifnya adalah Kepala Desa beserta perangkatnya sebagai Pemerintah Desa.
Ketiga, adapun yang termasuk dalam lembaga yudikatif adalah lembaga yang berperan dalam
menyelesaikan suatu perselisian yang terjadi didesa yaitu lembaga adat beserta
kepala desa sebagai wakil pemerintah dalam menyelesaikan permasalahan yang
dihadapi.
Dalam pelaksanaan trias politika pada pemerintahan
desa telah diatur secara tegas dalam
peraturan perundangan-undangan, yaitu UU No 32 tahun 2004 tentang pemerintah
desa dan PP Nomor 72 tahun 2005 tentang desa. Garis tegas yang diarahkan oleh
peraturan tersebut adalah menunjukkan adanya peran serta legislatif dalam
pemerintahan desa yaitu Badan Permusyawaratan desa (BPD). Dasar Pemikirannya
adalah untuk melaksanakan kedaulatan rakyat atas dasar kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan didalam pemerintahan
desa maka, perlu diwujudkan badan permusyawaran desa yang mampu mencerminkan
nilai-nilai demokrasi serta dapat menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat
termasuk kepentingan desa sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan
berbangsa dan bernegara. Dengan demikian diperlukan kejelasan dan ketegasan tentang susunan dan
kedudukan BPD sebagai lembaga legislatif dalam pemerintahan desa, yang memiliki
fungsi, tugas dan wewenang tersendiri.
Fungsi Badan permusyawaratan Desa ( BPD) sebagai lembaga legislatif
dalam pemerintahan desa.
Badan Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga legislatif
dalam pemerintahan desa memiliki fungsi yang sama sebagaimana halnya dimiliki
oleh DPR/DPRD sebagai lembaga legislatif dalam pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Hal tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.
A. Fungsi legislasi
Fungsi Legislasi adalah fungsi membentuk peraturan desa yang dibahas
dengan kepala desa untuk mendapatkan persetujuan. Hal ini dapat dilihat dari
pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang desa yang menegaskan
bahwa BPD menetapkan peraturan desa bersama dengan kepala desa. Selanjutnya
diuraikan kembali dalam pasal 35 point (a) “membahas rancangan peraturan desa
bersama kepala desa”. Sedangkan fungsi legislasi yang sama juga terdapat pada
DPR/DPRD dapat dilihat dalam pasal 25 Undang-undang Nomor 22 tahun 2003 tentang
susunan dan kedudukan anggota MPR, DPR, DPD dan DPRD yang menyatakan DPR
mempunyai fungsi, point (a). Legislasi. Sementara itu pada DPRD Provinsi dan
DPRD kabupaten/Kota juga diatur hal yang sama, yaitu pasal 61 DPRD Provinsi
mempunyai fungsi, point (a). Legislasi dan pasal 77 pont (a) tentang fungs
legislasi milik DPRD kabupaten/Kota.
Kemudian sebagai pedoman dalam pembentukan peraturan desa
diatur dalam Kepmendagri Nomor 29 tahun 2006 tentang pedoman pembentukan dan
mekanisme penyusunan paraturan desa. Adapun
Proses Dan Teknik Pembuatan Peraturan Desa adalah sebagai berikut :
Sebagaimana yang di tentukan dalam Undang-undang dimana pembuatan Peraturan Desa itu haruslah dibuat secara bersama antara Kepala Desa bersama dengan BPD. Maka dalam penyusunannya diawali oleh adanya proses perancangan dari peraturan desa itu sendiri. Hal ini sama dengan pembentukan suatu Undang-undang oleh DPR ataupun Peraturan Daerah oleh DPRD diperlukan suatu proses rancangan terlebih dahulu sebelum melangkah kepenyusunannya.
Secara garis besar proses pembuatan perancangan
Perundang-undangan meliputi kegiatan sebagai berikut:
1.
Tahan Persiapan dan perancangan
2.
Tahap pembicaraan dan pembahasan di DPR
3.
Tahap penetapan dan pengesahan
4.
Tahap pengundangan dan pengumuman.
Bila dilihat dari tahap-tahap yang dilakukan guna pembentukan
suatu produk perundang-undang, jika diimplementasikan ke dalam suatu proses
pembentukan Peraturan Desa, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.
Tahap Persiapan dan Perancangan Peraturan Desa.
2.
Tahap Pembahasan atau Pembicaraan Peraturan Desa di BPD
Selanjutnya rancangan usul inisiatif
ini disampaikan kepada Kepala Desa dengan permintaan agar Kepala Desa ikut
dalam pembahasan rancangan Peraturan Desa usul inisiatif bersama-sama dengan BPD.
3.
Tahap penetapan dan pengesahan Peraturan Desa.
4.
Tahap Pengundangan dan pengumuman Peraturan Desa.
Adapun Format / bentuk pembentukan peraturan desa haruslah sesuai dengan foemat/bentuk
Peraturan Perundang-undangan sebagiamana diatur dalam UU No 10 tahun 2004
tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.
B. Fungsi
anggaran
Fungsi anggaran adalah fungsi menyusun dan
menetapkan anggaran, pendapatan dan belanja desa bersama kepala desa dengan
memperhatikan kebutuhan dan sumber daya yang ada di desa. Hal ini dapat lihat
dari Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun
2005 tentang Desa ayat (1), menjelaskan “
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa
mempunyai wewenang : point (a). Menyusun dan mengajukan rancangan peraturan
desa mengenai APB Desa untuk dibahas dan ditetapkan bersama BPD“.
Kemudian dalam pasal 61 ayat (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa menjelaskan “ Rancangan Peraturan Desa tentang APBDesa
yang telah disetujui bersama sebelum ditetapkan oleh Kepala Desa paling lama 3
(tiga) hari disampaikan oleh Kepala Desa kepada Bupati/Walikota untuk dievaluasi
“. Ayat (2) “ Hasil evaluasi Bupati/Walikota terhadap
Rancangan Peraturan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling
lama 20 (dua puluh) hari kepada Kepala Desa “. Ayat (3) “ Apabila hasil
evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melampaui batas waktu dimaksud,
Kepala Desa dapat menetapkan Rancangan Peraturan Desa tentang APBDesa menjadi
Peraturan Desa “. Kemudian dalam pasal lain menegaskan kembali tentang APBDes yaitu
Pasal 73 ayat (1). “ APBDesa terdiri atas bagian pendapatan Desa, belanja Desa
dan pembiayaan “. Ayat (2). “ Rancangan APB Desa dibahas dalam musyawarah
perencanaan pembangunan desa “.Ayat (3). “ Kepala Desa bersama BPD
menetapkan APB Desa setiap tahun dengan Peraturan Desa “. Kemudian hal yang
sama juga diatur dalam Pasal 74 “ Pedoman penyusunan APBDesa, perubahan
APBDesa, perhitungan APBDesa, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APB Desa
ditetapkan dengan Peraturan Bupati/Walikota “.
Sementara itu dalam
pembuatan APBDes selayaknya pemerintah desa tidak hanya berpola pikir sebagai
pelengkap dalam proses penyelenggaraan pemerintahan desa. Idealnya APBDes
adalah sebagai sebagai cerminan pembangunan yang telah dilaksanakan dan tolak
ukur dalam pembangunan kedepan yang akan dilakukan oleh seoarang kepala desa.
hal ini senada dengan pernyataan dari Bayu Surianingrat (1981), sesuai dengan
keadaan kemampuan kepala desa nampaknya
anggaran desa belum dipandang sebagai cermin kegiatan pemerintahan desa
pada tahun yang lalu dan titik tolak bagi kegiatan yang akan datang, bahkan ada
gejala-gejala yang kelihatannya menganggap anggaran desa seolah-olah sekedar
pelengkap sebagai, sebagai suatu keharusan adanya anggaran belanja setiap
tahun. Sedangkan fungsi anggaran yang sama juga terdapat pada DPR/DPRD dapat
dilihat dalam pasal 25 Undang-undang Nomor 22 tahun 2003 tentang susunan dan
kedudukan anggota MPR, DPR, DPD dan DPRD yang menyatakan DPR mempunyai fungsi,
point (b). anggaran. Semantara itu pada DPRD Provinsi dan DPRD
kabupaten/Kota juga diatur hal yang sama, yaitu pasal 61 DPRD Provinsi
mempunyai fungsi, point (b). anggaran dan pasal 77 pont (a) tentang fungsa
anggaran milik DPRD kabupaten/Kota.
C. Fungsi pengawasan
Fungsi pengawasa adalah fungsi melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan peraturan desa dan segala kebijakan pemerintah desa. Hal tersebut searah dengan fungsi pengawasan
yang dilakukan oleh DPR/DPRD terhadap pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah. Tujuan dari fungsi pengawasan adalah untuk membatasi kekuasaan dan
menghindari tindakan yang sewenang-wenang yang dilakukan oleh pemerintah. Dalam
pelaksanaan fungsi pengawasan haruslah berdasarkan aturan hukum yang berlaku.
Hal ini senada dengan pendapat Laode Husen (2005), dengan demikian salah satu
bentuk pengawasan terhadap pemerintah adalah dengan konsep negara hukum dengan
prinsip the rule of law, berarti juga bahwa pengwasan terhadap negara
harus tetap berpegang pada asas legalitas yakni tetap berdasar pada batas-batas
yang telah ditetapkan dalam undang-undang.
Berhubungan dengan penyelenggaraan pemerintahan desa, fungsi
pengawasan haruslah berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku. Hal ini dapat
dilihat dari pasal 35
Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa, point (a). “ BPD
mempunyai wewenang: melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan desa
dan peraturan kepala desa “. Dalam hal fungsi pengawasan BPD mempunyai kewenangan
yang sangat luas hingga kewenangan untuk mendapatkan laporan penyelenggraan
pemerintahan desa hingga mengusulkan pemberhentian kepala desa. Hal ini diatur
dalam pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa, ayat (1) “
Selain kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Kepala Desa mempunyai
kewajiban untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa kepada
Bupati/Walikota, memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada BPD,
serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa kepada
masyarakat “.
Kemudian Ayat (2) menyatakan “ Laporan
penyelenggaraan pemerintahan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disampaikan kepada Bupati/Walikota melalui Camat 1 (satu) kali dalam satu tahun
“. Ayat (3) “ Laporan keterangan pertanggungjawaban kepada BPD sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) disampaikan 1 (satu) kali dalam satu tahun dalam musyawarah
BPD “. Ayat (4) “Menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa
kepada masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat berupa selebaran
yang ditempelkan pada papan pengumuman atau diinformasikan secara lisan dalam
berbagai pertemuan masyarakat desa, radio komunitas atau media lainnya “. Ayat
(5) “ Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan oleh Bupati/Walikota
sebagai dasar melakukan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan desa dan sebagai
bahan pembinaan lebih lanjut “. Ayat (6) “Laporan
akhir masa jabatan Kepala Desa disampaikan kepada Bupati/Walikota melalui Camat
dan kepada BPD “.
Adapun mengenai pengusulan
pemberhentian kepala desa diatur dalam pasal 17 Peraturan pemerintah Nomor 72
tahun 2005 tentang Desa, ayat (3) “Usul pemberhentian kepala desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b dan ayat (2) huruf a dan huruf b
diusulkan oleh Pimpinan BPD kepada Bupati/Walikota melalui Camat, berdasarkan
keputusan musyawarah BPD “. Ayat (4) “ Usul
pemberhentian kepala desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, huruf d,
huruf e dan huruf f disampaikan oleh BPD kepada Bupati/Walikota melalui Camat
berdasarkan keputusan musyawarah BPD yang dihadiri oleh 2/3 (dua
per tiga) dari jumlah anggota BPD “. Ayat (5) “ Pengesahan pemberhentian kepala
desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) ditetapkan dengan
Keputusan Bupati/Walikota paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak usul diterima
“. Fungsi pengawasan sama juga dengan fungsi pengawasan yang dimiliki
oleh DPR/DPRD yaitu dapat dilihat dalam pasal 25 Undang-undang Nomor 22 tahun 2003 tentang susunan dan
kedudukan anggota MPR, DPR, DPD dan DPRD yang menyatakan “ DPR mempunyai
fungsi, point (c). pengawasan “. Semantara itu pada DPRD Provinsi dan DPRD
kabupaten/Kota juga diatur hal yang sama, yaitu pasal 61 “ DPRD Provinsi
mempunyai fungsi, point (c). pengawasan “ dan pasal 77 point (c) tentang fungsi
pengawasan milik DPRD kabupaten/Kota.
Kekuatan hukum lain
yang menegaskan bahwa BPD sebagai lembaga legislatif dalam pemerintahan desa
dapat juga dilihat dari hak-hak dan wewenang yang dimiliki oleh anggota BPD
yang sama dengan hak dan wewenang yang dimiliki oleh anggota DPR/DPRD dalam
pemerintahan negara Republik Indonesia.
Hak dan wewenang anggota BPD sebagai lembaga Legislatif
dalam pemerintahan desa
1.Hak interpelasi
Hak Interpelasi adalah hak untuk
meminta ketarangan kepada pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting
dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Hak ini dapat dilihat dalam Pasal 35 Peraturan
Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tantang Desa yang menyatakan “ BPD mempunyai
wewenang: (a). meminta keterangan kepada Pemerintah Desa “. Hak ini juga
dimiliki oleh anggota DPR maupun anggota DPRD sebagaimana diatur dalam pasal 27
Undang-undang Nomor 22 tahun 2003 tentang susunan dan keududukan anggota MPR,
DPR, DPD dan DPRD, yang menyatakan “ DPR mempunyai hak point (a). Interpelasi “.
Kemudian anggota DPRD Provinsi dan kabupaten/kota juga mempunyai hak yang sama,
sebagaimana diatur dalam pasal 63 menyatakan “ DPRD provinsi mempunyai hak
point (a). Interpelasi “, pasal 79 tentang DPRD kabupaten/Kota, menyatakan
bahwa “ DPRD kabupaten/Kota mempunyai hak Point (a). Interpelasi “.
2.
Hak
untuk menyatakan pendapat
Hak Untuk
menyatakan pendapat yaitu hak untuk menyatakan pendapat terhadap kebijakan
pemerintah atau kejadian luar biasa yang terjadi dalam masyarakat desa dan bangsa dan negara
disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya. Hak ini juga dikatakan sebagai
tindak lanjut dari hak interplasi atau terhadap dugaan bahwa kepala desa
melakukan tindakan yang melanggar hukum.
Hak tersebut dapat dilihat dalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor
72 tahun 2005 ayat (1) “ Anggota BPD mempunyai hak : poin (c). menyampaikan
usul dan pendapat “.
Hak tersebut
juga dimiliki oleh anggota DPR maupun anggota DPRD sebagaimana diatur dalam
pasal 27 Undang-undang Nomor 22 tahun 2003 tentang susunan dan kedudukan MPR,
DPR, DPD Dan DPRD yang menyatakan “ DPR mempunyai hak point (c). menyatakan
pendapat “ dan dalam pasal 28 point (c). juga menyatakan hal yang sama yaitu
menyampaikan usul dan pendapat. Kemudian anggota DPRD Provinsi dan
kabupaten/kota juga mempunyai hak yang sama, sebagaimana diatur dalam pasal 63
menyatakan “ DPRD provinsi mempunyai hak point (c). menyatakan pendapat “,
pasal 79 tentang DPRD kabupaten/Kota, menyatakan bahwa “ DPRD kabupaten/Kota
mempunyai hak Point (c). menyatakan pendapat, hal serupa juga diatur dalam
pasal 64 anggota DPRD Provinsi mempunyai hak, point ( c ) menyampaikan usul dan
pendapat “, sedangkan DPRD Kabupaten/Kota diatur dalam pasal 80 “ anggota DPRD
Kabupaten/Kota mempunyai hak, point ( c
). Menyampaikan usul dan pendapat “.
3. Hak untuk menyampaikan pertanyaan
Maksud dari
hak ini adalah hak untuk menyampaikan
pertanyaan baik secara lisan maupun secara tertulis kepada pemerintah desa
bertalian dengan tugas dan wewenang BPD. Hak tersebut dapat dilihat dalam Pasal
37 Peraturan pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa, ayat (1) “ Anggota BPD mempunyai hak : pont (b) mengajukan
pertanyaan “. Hak ini juga dimiliki oleh anggota DPR maupun anggota DPRD
sebagaimana diatur dalam pasal 28 Undang-undang Nomor 22 tahun 2003 tentang
susunan dan kedudukan MPR, DPR, DPD Dan DPRD yang menyatakan “ DPR mempunyai hak point (b). mengajukan
pertanyaan “. Kemudian anggota DPRD Provinsi dan kabupaten/kota juga mempunyai
hak yang sama, sebagaimana diatur dalam pasal 64 menyatakan “ DPRD provinsi
mempunyai hak point (b). mengajukan pertanyaan “, pasal 80 tentang DPRD
kabupaten/Kota, menyatakan bahwa “ DPRD kabupaten/Kota mempunyai hak Point (b).
mengajukan pertanyaan “.
2.2.
Foktor pendukung pelaksanaan susunan dan kedudukan BPD sebagai lembaga
legislatif dalam pemerintahan desa
Dalam pelaksanaan Fungsi, tugas dan wewenang yang dimiliki
oleh anggota BPD sebagai lembaga legislatif dalam pemerintahan desa sangat
tergantung pada sosialisasi dan tingkat pendidikan yang dimiliki oleh anggota
BPD. Hal ini didasari bahwa BPD memiliki tugas, fungsi dan wewenang yang
sangat sentaral dalam segala kebijakan dan penyelenggaraan pemerintahan desa.
Faktor
pendidikan yang dimiliki oleh anggota BPD sangatlah penting, hal ini didasari
bahwa secara
yuridis tidak ada ketentuan yang tegas dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004
tentang pemerintah desa dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang
desa mengenai batas pendidikan formal yang dimiliki oleh seorang anggota BPD,
tetapi semuanya diserahkan kepada ketentuan Peraturan Daerah tentang pemerintahan
desa di setiap kabupaten/kota. Batasan tingkat pendidikan ini akan berpengaruh pada pola pikir dan keahlian yang
dimiliki oleh anggota BPD. Hal tersebut searah dengan pendapat Rahmad Murboyono (2001) , dalam bukunya dasar-dasar
Ilmu pendidikan mengutip pendapat Zahara Idris yang menyatakan bahwa
Pendidikan adalah serangkaian kegiatan komunikasi untuk mengembangkan
potensinya baik fisik, emosi, sosial, sikap, moral, pengetahuan dan
keterampilan, agar menjadi manusia dewasa yang bertanggung jawab.
Kemudian Josep Riwo Kuho ( 1998 ) dalam bukunya
prospek otonomi daerah memberikan pendapat tentang tentang pentingnya
pendidikan :
- Dapat memberikan pengetahuan yang luas dan mendalam tentang bidang yang dipilih atau dipelajari seseorang .
- Melatih manusia untuk berpikir secara rasional dengan menggunakan kecerdasan kearah yang tepat, melatih manusia menggunakan akalnya dalam kehidupan sehari-hari.
- Memberikan kemampuan kepada manusia untuk merumuskan pikiran, pendapat yang hendak disampaikan kepada orang lain secara logis dan sistematis sehingga mudah dimengerti.
Pendapat yang
dikemukakan oleh Josep Riwo Kuho mengenai pentingnya tingkat pendidikan
searah dengan pendapat Dr. Levelt dan Sunaryati dalam Irawan Soejito (1989),
dalam hal pembentukan sebuah peraturan, yang menghendaki seorang pembentuk
peraturan itu haruslah seorang sarjana, maka akan kelihatan bahwa tingkat
pendidikan sangat berpengaruh dalam menentukan kemampuan seseorang guna
memahami dan mengerti serta melaksanakan apa yang telah ditetapkan dan menjadi
tugasnya. Selain hal tersebut pendidikan
akan akan menciptakan kemampuan emosional yang dimiliki oleh seseorang yang
akan mewujudkan prilaku bertanggungjawab terhadap tugas dan untuk mendapatkan
sesuatu selalu mengikuti aturan dan ketentuan yang berlaku. Hal ini searah
dengan pendapat arfa’i ( 2007 ), Yang
dimaksud dengan kemampuan emosional tersebut adalah kemampuan seseorang untuk
mengendalikan dirinya dalam mendapatkan atau mencapai sesuatu dengan mengikuti
segala aturan yang ada,.
Faktor lain yang sangat dipentingkan adalah peran serta dari pemerintah
kabupaten/kota dalam melakukan pelatihan, pembinaan dan pendampingan terhadap
anggota BPD dalam menjalankan fungsi, tugas dan wewenangnya.
Kedua hal tersebut sangat menentukan out
put peraturan desa sebagai kenierja anggota BPD sebagai lembaga legislatif
dalam pemerintahan desa. Berikut ini penulis sajikan contoh relevansi tingkat
pendidikan anggota BPD dengan kinerjanya sebagai anggota BPD, yaitu kecamatan
yang desa-desanya belum membuat peraturan desa ; Kecamatan Rawas Ulu Kabupaten
Musi Rawas yang terdiri dari 12 Desa, setiap desa tidak ada yang memiliki
Paraturan desa bahkan BPD tidak pernah melakukan tugas, fungsi dan wewenangnya
sebagaimana ditetapkan dalam PP No 72 tahun 2005 tentang desa. BPD hanya
melakukan rapat hanya pada saat ada kunjungan kerja dari muspida kabupaten musi
rawas.
Tabel I. Tingkat
Pendidikan Formal Anggota BPD Di 4 (empat) Desa dari beberapa Desa se-Rawas
Ulu, Kabupaten Musi Rawas (periode 2004-2010)
No.
|
Tingkat
Pendidikan
|
Frekuensi
|
Keterangan
|
1
2
3
4
|
SD
SLTP
SLTA
PERGURUAN TINGGI
|
14
3
10
2
|
48%
10 %
35%
7%
|
Jumlah
|
29
|
100%
|
Sumber Data : Sampel
pendampingan PPK Kecamatan Rawas Ulu.
Kemudian dapat juga dilihat di Kecamatan Pelawan
Singkut Kabupaten Sarolangun yang terdiri dari 17 desa, belum terbentuk
Peraturan Desa sebagaimana yang dimaksud oleh UU No 32 tahun 2004 dan PP No 72
tahun 2006.
Tabel II. Tingkat Pendidikan Formal Anggota BPD Di
4 (Empat) Desa dari beberapa Desa se-Kecamatan Pelawan Singkut Kabupaten
Sarolangun (periode 2000-2005)
No.
|
Tingkat
Pendidikan
|
Frekuensi
|
Keterangan
|
1
2
3
4
|
SD
SLTP
SLTA
PERGURUAN TINGGI
|
2
10
14
3
|
7%
35 %
48%
10%
|
Jumlah
|
29
|
100%
|
Sumber Data : Data Monografi
Kukerta Unja 2004-2005.
III. PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
3.1.1 Dari penjelasan yang telah diuraikan diatas,
maka penulis dapat menyimpulkan bahwa dalam penyelenggaraan pemerintahan desa
secara yuridis ( Peraturan pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa )
terdapat konsep pemisahan kekuasaan ”trias politika” yaitu
lembaga eksekutif ( Kepala Desa beserta perangkat-perangkatnya), lembaga
Legisatif yaitu Badan permusyawaratan Desa dan yudikatif yaitu lembaga adat.
Dalam hal ini BPD mempunyai fungsi, Tugas dan wawenang sebagaimana layaknya
DPR/DPRD sebagai lembaga legislatif dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
3.1.2 Kemudian secara empiris BPD belumlah berperan
sebagaimana mestinya, karena disebabkan beberapa faktor pendukungnya belumlah
terpenuhi secara sempurna, antara lain ketidak pahaman BPD tentang susunan dan
kedudukannya, kurangnya sosialisasi dan tingkat pendidikan anggota BPD yang
masih rendah.
3.2. Saran
Menurut penulis secara yuridis
dan empiris pemerintah daerah hendaknya tidak hanya terpukus pada
pelatihan-pelatihan saja tetapi lebih mempokuskan pada pembinaan dan
pendampingan terhadap anggota BPD dalam menjalankan fungsi, tugas dan
wewenangnya yaitu dengan strategi pemberdayaan pemerintahan desa dalam konsep
pembangunan immaterial atau non pisik.
DAFTAR PUSTAKA
Arfa’i, 2007. Sekdes
PNS, bisa memicu kecemburuan (opini di Jambi ekspres). Jambi Ekspres,
Jambi.
Bayu Surianingrat, 1981. Pemerintahan
dan administrasi Desa. Aksara baru, Jakarta.
HAW. Widjaja,2001. Pemerintahan Desa/ Marga Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah (Suatu Telaah
Administrasi). Raja Grapindo Persada,
Jakarta.
Irawan Soejito, 1989. Tekhnik Pembuatan Peraturan
Daerah. PT. Bina Aksara, Jakarta.
Ismail Sunny, 1986. Pergeseran Kekuasaan Eksekutif.
Aksara Baru, Jakarta.
Josep Riwo Kuho, 1998. Prospek
Otonomi Daerah. Rajawali Pers, Jakarta.
Laode Husen, 2005. Hubungan Fungsi Pengawasan DPR dengan
BPK dalam sistem Ketatatnegaraan Indonesia. CV. Utomo, Bandung.
Morrisan,2005. Hukum Tata Negara Republik Indonesia Era
Reformasi. Ramdina Prakarsa, Jakarta.
M. Solly Lubis, 1975. Asas-asas Hukum Tata Negara. Alumni, Bandung.
Rahmad Murboyono, 2001. Bahan ajar Pengantar Ilmu
Pendidikan, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jambi. Jambi.
Talizuduhu Ndraha, 1999. Dimensi-dimensi Pemerintahan Desa. Bina
Aksara, Jakarta.
---------------
Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
--------------- Undang-undang Nomor 22 tahun 2003
tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD.
---------------
Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa.
---------------Kepmendagri Nomor 29 tahun 2006 tentang Pedoman
pembentukan dan Mekanisme Penyusunan Peraturan Desa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar