Senin, 13 Januari 2014

Analisis Yuridis Susunan Kedudukan BPD



ANALISIS YURIDIS TENTANG SUSUNAN DAN KEDUDUKAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA SEBAGAI LEMBAGA LEGISLATIF
DALAM PEMERINTAHAN DESA
MENURUT PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 72 TAHUN 2005 TENTANG DESA

Oleh :  Arfa’i, S.H.M.H.[1]

Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
Universitas Jambi

ABSTRAK[2]

Pemerintahan Desa merupakan suatu pemerintahan yang terkecil dalam sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia. Dalam hal ini, pemerintahan desa sebagai pihak yang terdepan dalam pembangunan yang sekaligus sebagai tolak ukur dari tercapainya tujuan dari Negara Republik Indonesia sebagai mana diatur dalam Alinea ke IV UUD 1945 ; melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, mensejahterakan masyarakat dan
ikut serta dalam mewujudkan perdamaian dunia. Sebagai langkah untuk mewujudkan tujuan tersebut maka, dikeluarkan peraturan pemerintah Nomor 72 tahun 2006 tentang desa. Peraturan tersebut menegaskan bahwa dalam pemerintahan desa terdapat Badan Permusyawaratan Desa yang mempunyai fungsi dan wewenang sebagaimana dimiliki oleh Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga legislatif.

Kata Kunci : Lembaga legislatif, Badan Permusyawaratann Desa.

I.  PENDAHULUAN
     1.1. Latar Belakang
Desa merupakan kesatuan masyarakat terkecil dalam struktur wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam hal ini desa terbentuk dari beberapa komponen sehingga menjadi satuan kenegaraan. Menurut Taliziruhu Ndraha (1999),  komponen-komponen pembentuk desa sebagai satuan kenegaraan itu terdiri dari wilayah desa, masyarakat desa dan pemerintah desa. Ketiga komponen tersebut saling berkaitan dalam proses pencapaian tujuan dari negara dan masyarakat desa. Hal tersebut meletakkan desa sebagai pihak yang terdepan dalam pelaksanaan tujuan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian akan memberikan  hak tersendiri bagi pemerintahan desa guna mencapai tujuan tersebut. Hak-hak yang dimasud adalah hak untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya sendiri. Hal ini senada dengan pendapat HAW Widjaja (2001) yang menyatakan  penyelenggaraan desa/marga merupakan substansi penyelenggraaan pemerintahan sehingga desa/marga memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya.
Selanjutnya guna menjalankan kewenangan dalam mengatur dan mengurus masyarakat, maka diperlukan perangkat-perangat penyelenggara pemerintahan desa. Perangkat-perangkat tersebut adalah kepala desa, Badan permusyawaratan desa, dan lembaga-lembaga masyarakat lainnya.
Menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah dan Peraturan pemerintah Nomor 72 tahun 2006 tentang desa, pasal 1 ayat (5) “ Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwewenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia “. Kemudian dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2006 tentang desa pasal 1 ayat (6) menegaskan bahwa yang dikatakan “ pemerintahan desa adalah penyelenggaraan  urusan pemerintahan oleh pemerintah desa dan badan permusyawaratan desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia “. Sementara itu yang dimaksud dengan pemerintah desa diatur dalam pasal 1 ayat (7) “ pemerintah desa  atau yang disebut dengan nama lain adalah kepala desa dan perangkat desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa “. Selanjutnya pasal 1 ayat (8) menyatakan bahwa “ Badan Permusyawaratan Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disingkat BPD, adalah lembaga yang merupakan perwujudan demokrasi dalam penyelenggraan pemerintahan desa sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan desa “.
Pasal-pasal tersebut memberikan penjelasan bahwa dalam pemerintahan desa terdapat lembaga yang merupakan perwakilan rakyat, sebagaimana halnya DPRD yang terdapat di Provinsi, Kabupaten/kota. DPRD Provinsi, Kabupaten/kota memiliki susunan dan keududukan sebagai lembaga negara sebagaimana diatur dalam  UU No 22 tahun 2003 tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR, DPD, DPRD. Sementara itu BPD sebagai lembaga  pemerintahan desa juga memiliki susunan dan kedudukan  sebagai mana diatur dalam PP No 72 tahun 2006 tentang desa.
Sebagai badan permusyawaratan desa, BPD mempunyai tugas, fungsi dan wewenang, antara lain kewenangan dalam membentuk peraturan desa, pengawasan terhadap paraturan desa dan pemerintah desa serta dalam hal menentapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa). Mengenai Peraturan Desa itu sendiri pengaturannya disebutkan dalam Pasal 209 UU No 32 tahun 2004, ditentukan bahwa ” BPD berfungsi menetapkan peraturan desa bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat ”. Selanjutnya hal serupa juga dijelaskan dalam PP No 72 tahun 2006 tentang desa, pasal 34  ” BPD berfungsi menetapkan peraturan desa bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat “. Kemudian  diatur juga mengenai petunjuk teknis pembentukan Peraturan Desa dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2006 tentang pedoman pembentukan dan mekanisme penyusunan paraturan desa.
Dari penjelasan diatas jelas bahwa peraturan tersebut memberikan kewenangan bagi BPD untuk membentuk suatu Peraturan Desa, pengawasan terhadap paraturan desa dan pemerintah desa serta dalam hal menentapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa) Hal tersebut menunjukkan bahwa BPD adalah sebagai lembaga legislatif yang terdapat dalam pemerintahan desa.  Selanjutnya untuk mengetahui fungsi, tugas dan wewenang yang dimiliki oleh BPD dapat dilihat dalam susunan dan kedudukannya yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang desa. Berhubungan dengan hal tersebut terdapat suatu permasalahan dalam inplementasinya yaitu kurangnya peran dan kesadaran dari anggota BPD dalam menjalankan fungsi, tugas dan wewenangnya sebagai lembaga legislatif. Berbeda halnya dengan anggota DPR/DPRD yang menjalankan fungsi, tugas dan wewenangnya sebagai lembaga legislatif padahal antara BPD dengan DPR/DPRD adalah sama-sama sebagai lembaga legislatif dalam sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia.
Sebagai contoh di Kecamatan Pelawan Singkut, Kabupaten Sarolangun, provinsi Jambi yang terdiri dari 17 desa, belum terbentuk Peraturan Desa sebagaimana yang dimaksud oleh UU No 32 tahun 2004 dan PP No 72 tahun 2006. Hal serupa juga  terjadi di 12 desa dalam Kecamatan Rawas Ulu, Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan.



      1.2. Permasalahan
             Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam karya ilmiah ini adalah :
1.       Bagaimana susunan dan kedudukan BPD sebagai lemabaga legislatif dalam pemerintahan desa ditinjau dari teori trias politika Montesqieu dan Undang-undang Nomor No 72 tahun 2005 tentang desa ?
2.       Apa saja foktor pendukung pelaksanaan susunan dan kedudukan BPD sebagai lembaga legislatif dalam pemerintahan desa ?
II. PEMBAHASAN
2. 1. Susunan dan kedudukan BPD sebagai lemabaga legislatif dalam pemerintahan desa  ditinjau dari teori trias politika Montesqieu dan Undang-undang Nomor No 72 tahun 2005 tentang desa
Sehubungan dengan otonomi daerah yang dilaksanakan, kemudian berpengaruh terhadap desa yang merupakan institusi yang otonom dengan tradisi, adat istiadat dan hukumnya sendiri serta relatif mandiri. Hal ini searah dengan pendapat Sadu Wasistiono (2002), yang mengatakan otonomi desa adalah hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri yang muncul bersamaan dengan terbentuknya persekutuan hukum tersebut, dengan batas-batas berupa hak dan wewenang yang belum diatur oleh persekutuan masyarakat hukum yang lebih luas dan tinggi tingkatannya, dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup kesatuan masyarakat hukum bersangkutan. Secara yuridis Pasal 200 Undang-undang Nomor 32 tentang Pemerintah Daerah, ayat (1) menyebutkan bahwa “ dalam Pemerintahan Daerah kabupaten/kota dibentuk pemerintahan desa yang terdiri dari Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa “. Dalam hal ini Pemerintah Desa dikatakan sebagai lembaga eksekutif dan BPD disebut sebagai lembaga legislative. Hal ini searah dengan pembagian kekuasaan sebagaimana yang dikatakan oleh Montesquieu dalam bukunya Morrisan (2005), yang menyatakan bahwa  kekuasaan negara itu terbagi dalam tiga jenis kekuasaan atau yang sering disebut dengan ajaran Trias Politika dimana setiap bagiannya harus dipisahkan secara ketat .
Ketiga jenis kekuasaan itu adalah (1). Kekuasaan membuat Peraturan Perundang-undangan ( Legislatif). (2). Kekuasaan melaksanakan Peraturan Perundang-undangan (eksekutif). (3). Kekuaasaan kehakiman ( Yudikatif)
Dalam implementasi Trias Politika dikenal dalam dua pembagian kekuasaan, yaitu pemisahan kekuasaan  (saparation of power) dan pembagian kekuasaan (division of power).
Sementara itu menurut pendapat Prof. Dr. Ismail Sunny (1986), dalam bukunya Pergeseran Kekuasaan Eksekutif menyimpulkan bahwa pemisahan kekuasaan dalam arti materil disebut pemisahan kekuasaan saparation of power sedangkan dalam arti formal disebut pembagian kekuasaan division of power.
Kemudian menurut M. Solly lubis ( 1982) tugas legislatif diserahkan kepada badan perwakilan rakyat selaku badan legislatif dan semata-mata boleh dijalankan oleh badan itu, tugas eksekutif menjadi wewenang pemerintah semata-mata dan tugas peradilan atau yudikatif semata-mata dipegang oleh badan-badan kehakiman.
Dengan demikian jika dihubungkan dengan Pemerintahan Desa sebagaimana yang diatur didalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa, teori Trias Politika terdapat dalam pelaksanaannya yaitu: Pertama, lembaga legislatif dalam pemerintahan desa adalah BPD. Kedua, lembaga eksekutifnya adalah Kepala Desa beserta perangkatnya sebagai Pemerintah Desa. Ketiga, adapun yang termasuk dalam lembaga yudikatif  adalah lembaga yang berperan dalam menyelesaikan suatu perselisian yang terjadi didesa yaitu lembaga adat beserta kepala desa sebagai wakil pemerintah dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi.
Dalam pelaksanaan trias politika pada pemerintahan desa  telah diatur secara tegas dalam peraturan perundangan-undangan, yaitu UU No 32 tahun 2004 tentang pemerintah desa dan PP Nomor 72 tahun 2005 tentang desa. Garis tegas yang diarahkan oleh peraturan tersebut adalah menunjukkan adanya peran serta legislatif dalam pemerintahan desa yaitu Badan Permusyawaratan desa (BPD). Dasar Pemikirannya adalah untuk melaksanakan kedaulatan rakyat atas dasar kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan didalam pemerintahan desa maka, perlu diwujudkan badan permusyawaran desa yang mampu mencerminkan nilai-nilai demokrasi serta dapat menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat termasuk kepentingan desa sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian diperlukan  kejelasan dan ketegasan tentang susunan dan kedudukan BPD sebagai lembaga legislatif dalam pemerintahan desa, yang memiliki fungsi, tugas dan wewenang tersendiri.
Fungsi Badan permusyawaratan Desa ( BPD) sebagai lembaga legislatif dalam pemerintahan desa.
Badan Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga legislatif dalam pemerintahan desa memiliki fungsi yang sama sebagaimana halnya dimiliki oleh DPR/DPRD sebagai lembaga legislatif dalam pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.
A. Fungsi legislasi
Fungsi Legislasi adalah  fungsi membentuk peraturan desa yang dibahas dengan kepala desa untuk mendapatkan persetujuan. Hal ini dapat dilihat dari pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang desa yang menegaskan bahwa BPD menetapkan peraturan desa bersama dengan kepala desa. Selanjutnya diuraikan kembali dalam pasal 35 point (a) “membahas rancangan peraturan desa bersama kepala desa”. Sedangkan fungsi legislasi yang sama juga terdapat pada DPR/DPRD dapat dilihat dalam pasal 25 Undang-undang Nomor 22 tahun 2003 tentang susunan dan kedudukan anggota MPR, DPR, DPD dan DPRD yang menyatakan DPR mempunyai fungsi, point (a). Legislasi. Sementara itu pada DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/Kota juga diatur hal yang sama, yaitu pasal 61 DPRD Provinsi mempunyai fungsi, point (a). Legislasi dan pasal 77 pont (a) tentang fungs legislasi milik DPRD kabupaten/Kota.
Kemudian sebagai pedoman dalam pembentukan peraturan desa diatur dalam Kepmendagri Nomor 29 tahun 2006 tentang pedoman pembentukan dan mekanisme penyusunan paraturan desa. Adapun Proses Dan Teknik Pembuatan Peraturan Desa adalah sebagai berikut :

Sebagaimana yang di tentukan dalam Undang-undang dimana pembuatan Peraturan Desa itu haruslah dibuat secara bersama antara Kepala Desa bersama dengan BPD. Maka dalam penyusunannya diawali oleh adanya proses perancangan dari peraturan desa itu sendiri. Hal ini sama dengan pembentukan suatu Undang-undang oleh DPR ataupun Peraturan Daerah oleh DPRD diperlukan suatu proses rancangan terlebih dahulu sebelum melangkah  kepenyusunannya.

Secara garis besar proses pembuatan perancangan Perundang-undangan meliputi kegiatan sebagai berikut:
1.      Tahan Persiapan dan perancangan
2.      Tahap pembicaraan dan pembahasan di DPR
3.      Tahap penetapan dan pengesahan
4.      Tahap pengundangan dan pengumuman.
Bila dilihat dari tahap-tahap yang dilakukan guna pembentukan suatu produk perundang-undang, jika diimplementasikan ke dalam suatu proses pembentukan Peraturan Desa, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.      Tahap Persiapan dan Perancangan Peraturan Desa.
Proses pembuatan peraturan dimulai dengan mempersiapkan rancangan peraturan tersebut. Rancangan itu dapat berasal dari pihak Pemerintah (eksekutif) yang dalam hal ini Kepala desa dan dapat pula berasal dari usul inisiatif BPD. Hal ini diatur dalam pasal 6 Kepmendagri No 29 tahun 2006 tentang pedoman pembentukan dan mekanisme penyusunan peraturan desa, “ Rancangan Peraturan Desa diprakarsai oleh pemerintah desa dan dapat berasal dari usul inisiatif BPD”.
Khusus untuk rancangan Peraturan Desa yang dapat diusulkan oleh kepala desa, pembuatannya dibantu oleh Sekretaris desa secara khusus menangani tugas-tugas tersebut. Kemudian dilakukan pembicaraan atau negosiasi antara pihak pemrakarsa dengan pihak-pihak lain yang terkait dan berkompeten. Bila perlu, dilakukan penelitian.
Selanjutnya, usul Rancangan Peraturan Desa itu diajukan Kepala Desa kepada BPD. Dengan demikian dapatlah dijelaskan bahwa mutu suatu rancangan Peraturan Desa yang diusulkan oleh Kepala Desa ditentukan dan tergantung pada keahlian dan kemampuan sekretaris desa dan staffnya dalam membantu Kepala Desa merancang sebuah Peraturan Desa.
2.      Tahap Pembahasan atau Pembicaraan Peraturan Desa di BPD
Pembentukan Peraturan Desa  dimulai dari pengajuan usulan dari masyarakat Desa akan perlunya pengaturan terhadap sesuatu hal, usulan ini kemudian disampaikan kepada BPD yang oleh BPD dilakukan rapat bersama yang tujuannya untuk membahas perihal usulan tadi.
Selanjutnya hasil dari rapat bersama tersebut apabila disetujui maka dijadikan suatu rancangan Peraturan Desa dan kemudian BPD mengajukan kepada Kepala Desa sebagai Pimpinan Pemerintah desa untuk dibahas bersama. Hal ini diatur dalam pasal 8 Kepmendagri Nomor 29 tahun 2006 “Rancangan Peraturan desa dibahas secara bersama oleh pemerintah desa dan BPD”. Apabila disetujui rancangan Peraturan Desa tersebut diumumkan kepada masysrakat ramai melalui papan pengumuman.
Kemudian apabila tidak ada tanggapan ataupun kritik dan saran dari masyarakat ramai maka rancangan Peraturan Desa tadi menjadi sebuah produk Pemerintahan Desa yang ditanda tangani oleh Kepala Desa. Usulan pembuatan ini bisa juga timbul dari BPD ataupun Kepala Desa jadi tidak selamanya menunggu datangnya usulan / ide dari masyarkat.
Usulan rancangan Peraturan Desa yang diajukan oleh BPD haruslah disertai dengan penjelasan tertulis dan ditanda tangani oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari anggota. Dalam rapat BPD selanjutnya, Pimpinan BPD memberitahukan kepada anggota tentang masuknya usul rancangan Peraturan Desa yang merupakan usul inisiatif serta membagikannya kepada para anggota.  Kemudian dalam rapat Badan Musyawarah kepada pengusul diberi kesempatan untuk mengadakan tanya jawab dengan pengusul. Setelah Badan Musyawarah menganggap cukup, maka usul rancangan Peraturan Desa yang merupakan usul inisiatif tersebut dibawa kembali ke BPD untuk diadakan pembicaraan lebih lanjut.
Selanjutnya rancangan usul inisiatif ini disampaikan kepada Kepala Desa dengan permintaan agar Kepala Desa ikut dalam pembahasan rancangan Peraturan Desa usul inisiatif  bersama-sama dengan BPD.
3.      Tahap penetapan dan pengesahan Peraturan Desa.
Bila Peraturan Desa tersebut  isinya dapat diterima, maka ditetapkan (dalam hal ini dibubuhi tanda tangan) oleh Kepala desa. Hal ini diatur dalam pasal 13 Kepmendagri No 29 tahun 2006 “ Rancangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 wajib ditetapkan oleh kepala desa dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lambat 30 ( tiga puluh ) hari sejak diterimanya Rancangan Paraturan tersebut”. Adapun yang dimaksud dengan pasal 12 adalah Rancangan Paraturan Desa yang telah disetujui oleh Pemerintah Desa dengan BPD untuk menjadi peraturan desa.
4.      Tahap Pengundangan dan pengumuman Peraturan Desa.
Menurut pasal 60 Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2006 tentang desa. ayat (1) “ paraturan desa yang telah disahkan menjadi peraturan desa, harus dimuat dalam berita daerah  “. Pemuatan dalam berita daerah dilakukan oleh sekretaris daerah, sebagimana diatur dalam  pasal 60 ayat (2) “ pemuatan peraturan desa dan peraturan kepala desa sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan oleh sekretaris daerah”. Kemudian paraturan tersebut harus disebarluaskan kepada masyarakat desa yang dilakukan oleh pemerintah desa, sebagaimana diatur dalam pasal 60 ayat (3) “ Paraturan desa dan peraturan kepala desa sebagaimana dimaksud ayat (1) disebarluaskan oleh pemerintah desa. dalam hal ini pemerintah desa bisa menggunakan papan pengumuman ataupun pengeras suara yang ada di mesjid dan surau/mushola.
Adapun Format / bentuk pembentukan peraturan desa haruslah sesuai dengan foemat/bentuk Peraturan Perundang-undangan sebagiamana diatur dalam UU No 10 tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.
B.  Fungsi anggaran
Fungsi anggaran adalah fungsi menyusun dan menetapkan anggaran, pendapatan dan belanja desa bersama kepala desa dengan memperhatikan kebutuhan dan sumber daya yang ada di desa. Hal ini dapat lihat dari Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa ayat  (1), menjelaskan “ Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa mempunyai wewenang : point (a). Menyusun dan mengajukan rancangan peraturan desa mengenai APB Desa untuk dibahas dan ditetapkan bersama BPD“.
Kemudian dalam pasal 61 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa menjelaskan  “ Rancangan Peraturan Desa tentang APBDesa yang telah disetujui bersama sebelum ditetapkan oleh Kepala Desa paling lama 3 (tiga) hari disampaikan oleh Kepala Desa kepada Bupati/Walikota untuk dievaluasi “. Ayat (2) “ Hasil evaluasi Bupati/Walikota terhadap Rancangan Peraturan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lama 20 (dua puluh) hari kepada Kepala Desa “. Ayat (3) “ Apabila hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melampaui batas waktu dimaksud, Kepala Desa dapat menetapkan Rancangan Peraturan Desa tentang APBDesa menjadi Peraturan Desa “. Kemudian dalam pasal lain menegaskan kembali tentang APBDes yaitu  Pasal 73 ayat (1). “ APBDesa terdiri atas bagian pendapatan Desa, belanja Desa dan pembiayaan “. Ayat (2). “ Rancangan APB Desa dibahas dalam musyawarah perencanaan pembangunan desa “.Ayat (3). “ Kepala Desa bersama BPD menetapkan APB Desa setiap tahun dengan Peraturan Desa “. Kemudian hal yang sama juga diatur dalam Pasal 74 “ Pedoman penyusunan APBDesa, perubahan APBDesa, perhitungan APBDesa, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APB Desa ditetapkan dengan Peraturan Bupati/Walikota “.
Sementara itu dalam pembuatan APBDes selayaknya pemerintah desa tidak hanya berpola pikir sebagai pelengkap dalam proses penyelenggaraan pemerintahan desa. Idealnya APBDes adalah sebagai sebagai cerminan pembangunan yang telah dilaksanakan dan tolak ukur dalam pembangunan kedepan yang akan dilakukan oleh seoarang kepala desa. hal ini senada dengan pernyataan dari Bayu Surianingrat (1981), sesuai dengan keadaan kemampuan kepala desa nampaknya  anggaran desa belum dipandang sebagai cermin kegiatan pemerintahan desa pada tahun yang lalu dan titik tolak bagi kegiatan yang akan datang, bahkan ada gejala-gejala yang kelihatannya menganggap anggaran desa seolah-olah sekedar pelengkap sebagai, sebagai suatu keharusan adanya anggaran belanja setiap tahun. Sedangkan fungsi anggaran yang sama juga terdapat pada DPR/DPRD dapat dilihat dalam pasal 25 Undang-undang Nomor 22 tahun 2003 tentang susunan dan kedudukan anggota MPR, DPR, DPD dan DPRD yang menyatakan DPR mempunyai fungsi, point (b). anggaran. Semantara itu pada DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/Kota juga diatur hal yang sama, yaitu pasal 61 DPRD Provinsi mempunyai fungsi, point (b). anggaran dan pasal 77 pont (a) tentang fungsa anggaran milik DPRD kabupaten/Kota.
C.  Fungsi pengawasan
Fungsi pengawasa adalah fungsi melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan desa dan segala kebijakan pemerintah desa.  Hal tersebut searah dengan fungsi pengawasan yang dilakukan oleh DPR/DPRD terhadap pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Tujuan dari fungsi pengawasan adalah untuk membatasi kekuasaan dan menghindari tindakan yang sewenang-wenang yang dilakukan oleh pemerintah. Dalam pelaksanaan fungsi pengawasan haruslah berdasarkan aturan hukum yang berlaku. Hal ini senada dengan pendapat Laode Husen (2005), dengan demikian salah satu bentuk pengawasan terhadap pemerintah adalah dengan konsep negara hukum dengan prinsip the rule of law, berarti juga bahwa pengwasan terhadap negara harus tetap berpegang pada asas legalitas yakni tetap berdasar pada batas-batas yang telah ditetapkan dalam undang-undang.
Berhubungan dengan penyelenggaraan pemerintahan desa, fungsi pengawasan haruslah berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku. Hal ini dapat dilihat dari pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa, point (a). “ BPD mempunyai wewenang: melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan desa dan peraturan kepala desa “. Dalam hal fungsi pengawasan BPD mempunyai kewenangan yang sangat luas hingga kewenangan untuk mendapatkan laporan penyelenggraan pemerintahan desa hingga mengusulkan pemberhentian kepala desa. Hal ini diatur dalam pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa, ayat (1) “ Selain kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Kepala Desa mempunyai kewajiban untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa kepada Bupati/Walikota, memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada BPD, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa kepada masyarakat “.
Kemudian Ayat (2) menyatakan “ Laporan penyelenggaraan pemerintahan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Bupati/Walikota melalui Camat 1 (satu) kali dalam satu tahun “. Ayat (3) “ Laporan keterangan pertanggungjawaban kepada BPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan 1 (satu) kali dalam satu tahun dalam musyawarah BPD “. Ayat (4) “Menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa kepada masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat berupa selebaran yang ditempelkan pada papan pengumuman atau diinformasikan secara lisan dalam berbagai pertemuan masyarakat desa, radio komunitas atau media lainnya “. Ayat (5) “ Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan oleh Bupati/Walikota sebagai dasar melakukan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan desa dan sebagai bahan pembinaan lebih lanjut “. Ayat (6) “Laporan akhir masa jabatan Kepala Desa disampaikan kepada Bupati/Walikota melalui Camat dan kepada BPD “.
Adapun mengenai pengusulan pemberhentian kepala desa diatur dalam pasal 17 Peraturan pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa, ayat (3) “Usul pemberhentian kepala desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b dan ayat (2) huruf a dan huruf b diusulkan oleh Pimpinan BPD kepada Bupati/Walikota melalui Camat, berdasarkan keputusan musyawarah BPD “.  Ayat (4) “ Usul pemberhentian kepala desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, huruf d, huruf e dan huruf f disampaikan oleh BPD kepada Bupati/Walikota melalui Camat berdasarkan keputusan musyawarah BPD yang dihadiri oleh 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota BPD “. Ayat (5) “ Pengesahan pemberhentian kepala desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) ditetapkan dengan Keputusan Bupati/Walikota paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak usul diterima “. Fungsi pengawasan sama juga dengan fungsi pengawasan yang dimiliki oleh DPR/DPRD yaitu dapat dilihat dalam pasal 25 Undang-undang  Nomor 22 tahun 2003 tentang susunan dan kedudukan anggota MPR, DPR, DPD dan DPRD yang menyatakan “ DPR mempunyai fungsi, point (c). pengawasan “. Semantara itu pada DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/Kota juga diatur hal yang sama, yaitu pasal 61 “ DPRD Provinsi mempunyai fungsi, point (c). pengawasan “ dan pasal 77 point (c) tentang fungsi pengawasan milik DPRD kabupaten/Kota.
         Kekuatan hukum lain yang menegaskan bahwa BPD sebagai lembaga legislatif dalam pemerintahan desa dapat juga dilihat dari hak-hak dan wewenang yang dimiliki oleh anggota BPD yang sama dengan hak dan wewenang yang dimiliki oleh anggota DPR/DPRD dalam pemerintahan negara Republik Indonesia.
Hak dan wewenang anggota BPD sebagai lembaga Legislatif dalam pemerintahan desa
1.Hak interpelasi
Hak Interpelasi adalah hak untuk meminta ketarangan kepada pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hak ini dapat dilihat dalam Pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tantang Desa yang menyatakan “ BPD mempunyai wewenang: (a). meminta keterangan kepada Pemerintah Desa “. Hak ini juga dimiliki oleh anggota DPR maupun anggota DPRD sebagaimana diatur dalam pasal 27 Undang-undang Nomor 22 tahun 2003 tentang susunan dan keududukan anggota MPR, DPR, DPD dan DPRD, yang menyatakan “ DPR mempunyai hak point (a). Interpelasi “. Kemudian anggota DPRD Provinsi dan kabupaten/kota juga mempunyai hak yang sama, sebagaimana diatur dalam pasal 63 menyatakan “ DPRD provinsi mempunyai hak point (a). Interpelasi “, pasal 79 tentang DPRD kabupaten/Kota, menyatakan bahwa “ DPRD kabupaten/Kota mempunyai hak Point (a). Interpelasi “.
2.      Hak untuk menyatakan pendapat
Hak Untuk menyatakan pendapat yaitu hak untuk menyatakan pendapat terhadap kebijakan pemerintah atau kejadian luar biasa yang terjadi  dalam masyarakat desa dan bangsa dan negara disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya. Hak ini juga dikatakan sebagai tindak lanjut dari hak interplasi atau terhadap dugaan bahwa kepala desa melakukan tindakan yang melanggar hukum.  Hak tersebut dapat dilihat dalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 ayat  (1) “ Anggota BPD mempunyai hak : poin (c). menyampaikan usul dan pendapat “.
Hak tersebut juga dimiliki oleh anggota DPR maupun anggota DPRD sebagaimana diatur dalam pasal 27 Undang-undang Nomor 22 tahun 2003 tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR, DPD Dan DPRD yang menyatakan “ DPR mempunyai hak point (c). menyatakan pendapat “ dan dalam pasal 28 point (c). juga menyatakan hal yang sama yaitu menyampaikan usul dan pendapat. Kemudian anggota DPRD Provinsi dan kabupaten/kota juga mempunyai hak yang sama, sebagaimana diatur dalam pasal 63 menyatakan “ DPRD provinsi mempunyai hak point (c). menyatakan pendapat “, pasal 79 tentang DPRD kabupaten/Kota, menyatakan bahwa “ DPRD kabupaten/Kota mempunyai hak Point (c). menyatakan pendapat, hal serupa juga diatur dalam pasal 64 anggota DPRD Provinsi mempunyai hak, point ( c ) menyampaikan usul dan pendapat “, sedangkan DPRD Kabupaten/Kota diatur dalam pasal 80 “ anggota DPRD Kabupaten/Kota mempunyai hak, point  ( c ). Menyampaikan usul dan pendapat “.
   3.   Hak untuk menyampaikan pertanyaan
Maksud dari hak ini adalah  hak untuk menyampaikan pertanyaan baik secara lisan maupun secara tertulis kepada pemerintah desa bertalian dengan tugas dan wewenang BPD. Hak tersebut dapat dilihat dalam Pasal 37 Peraturan pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa, ayat   (1) “ Anggota BPD mempunyai hak : pont (b) mengajukan pertanyaan “. Hak ini juga dimiliki oleh anggota DPR maupun anggota DPRD sebagaimana diatur dalam pasal 28 Undang-undang Nomor 22 tahun 2003 tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR, DPD Dan DPRD yang menyatakan  “ DPR mempunyai hak point (b). mengajukan pertanyaan “. Kemudian anggota DPRD Provinsi dan kabupaten/kota juga mempunyai hak yang sama, sebagaimana diatur dalam pasal 64 menyatakan “ DPRD provinsi mempunyai hak point (b). mengajukan pertanyaan “, pasal 80 tentang DPRD kabupaten/Kota, menyatakan bahwa “ DPRD kabupaten/Kota mempunyai hak Point (b). mengajukan pertanyaan “.
      2.2.  Foktor pendukung pelaksanaan susunan dan kedudukan BPD sebagai lembaga legislatif dalam pemerintahan desa
         Dalam pelaksanaan Fungsi, tugas dan wewenang yang dimiliki oleh anggota BPD sebagai lembaga legislatif dalam pemerintahan desa sangat tergantung pada sosialisasi dan tingkat pendidikan yang dimiliki oleh anggota BPD. Hal ini didasari bahwa BPD memiliki tugas, fungsi dan wewenang yang sangat sentaral dalam segala kebijakan dan penyelenggaraan pemerintahan desa.
   Faktor pendidikan yang dimiliki oleh anggota BPD sangatlah penting, hal ini didasari bahwa secara yuridis tidak ada ketentuan yang tegas dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah desa dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang desa mengenai batas pendidikan formal yang dimiliki oleh seorang anggota BPD, tetapi semuanya diserahkan kepada ketentuan Peraturan Daerah tentang pemerintahan desa di setiap kabupaten/kota. Batasan tingkat pendidikan ini akan  berpengaruh pada pola pikir dan keahlian yang dimiliki oleh anggota BPD. Hal tersebut searah dengan pendapat Rahmad Murboyono (2001) , dalam bukunya dasar-dasar Ilmu pendidikan mengutip pendapat Zahara Idris yang menyatakan bahwa Pendidikan adalah serangkaian kegiatan komunikasi untuk mengembangkan potensinya baik fisik, emosi, sosial, sikap, moral, pengetahuan dan keterampilan, agar menjadi manusia dewasa yang bertanggung jawab.
Kemudian  Josep Riwo Kuho ( 1998 ) dalam bukunya prospek otonomi daerah memberikan pendapat tentang tentang pentingnya pendidikan :
  1. Dapat memberikan pengetahuan yang luas dan mendalam tentang bidang yang dipilih atau dipelajari seseorang .
  2. Melatih manusia untuk berpikir secara rasional dengan menggunakan kecerdasan kearah yang tepat, melatih manusia menggunakan akalnya dalam kehidupan sehari-hari.
  3. Memberikan kemampuan kepada manusia untuk merumuskan pikiran, pendapat yang hendak disampaikan kepada orang lain secara logis dan sistematis sehingga mudah dimengerti.
Pendapat yang  dikemukakan oleh Josep Riwo Kuho mengenai pentingnya tingkat pendidikan searah dengan pendapat Dr. Levelt dan Sunaryati dalam Irawan Soejito (1989), dalam hal pembentukan sebuah peraturan, yang menghendaki seorang pembentuk peraturan itu haruslah seorang sarjana, maka akan kelihatan bahwa tingkat pendidikan sangat berpengaruh dalam menentukan kemampuan seseorang guna memahami dan mengerti serta melaksanakan apa yang telah ditetapkan dan menjadi tugasnya.  Selain hal tersebut pendidikan akan akan menciptakan kemampuan emosional yang dimiliki oleh seseorang yang akan mewujudkan prilaku bertanggungjawab terhadap tugas dan untuk mendapatkan sesuatu selalu mengikuti aturan dan ketentuan yang berlaku. Hal ini searah dengan pendapat arfa’i ( 2007 ),  Yang dimaksud dengan kemampuan emosional tersebut adalah kemampuan seseorang untuk mengendalikan dirinya dalam mendapatkan atau mencapai sesuatu dengan mengikuti segala aturan yang ada,.
Faktor lain yang sangat dipentingkan adalah peran serta dari pemerintah kabupaten/kota dalam melakukan pelatihan, pembinaan dan pendampingan terhadap anggota BPD dalam menjalankan fungsi, tugas dan wewenangnya.
      Kedua hal tersebut sangat menentukan out put peraturan desa sebagai kenierja anggota BPD sebagai lembaga legislatif dalam pemerintahan desa. Berikut ini penulis sajikan contoh relevansi tingkat pendidikan anggota BPD dengan kinerjanya sebagai anggota BPD, yaitu kecamatan yang desa-desanya belum membuat peraturan desa ; Kecamatan Rawas Ulu Kabupaten Musi Rawas yang terdiri dari 12 Desa, setiap desa tidak ada yang memiliki Paraturan desa bahkan BPD tidak pernah melakukan tugas, fungsi dan wewenangnya sebagaimana ditetapkan dalam PP No 72 tahun 2005 tentang desa. BPD hanya melakukan rapat hanya pada saat ada kunjungan kerja dari muspida kabupaten musi rawas.





Tabel I. Tingkat Pendidikan Formal Anggota BPD Di 4 (empat) Desa dari beberapa Desa se-Rawas Ulu, Kabupaten Musi Rawas (periode 2004-2010)
No.
Tingkat Pendidikan
Frekuensi
Keterangan
1
2
3
4
SD
SLTP
SLTA
PERGURUAN TINGGI
14
3
10
2
48%
10 %
35%
7%
    Jumlah
29
100%
                          Sumber Data : Sampel pendampingan PPK Kecamatan Rawas Ulu.
Kemudian dapat juga dilihat di Kecamatan Pelawan Singkut Kabupaten Sarolangun yang terdiri dari 17 desa, belum terbentuk Peraturan Desa sebagaimana yang dimaksud oleh UU No 32 tahun 2004 dan PP No 72 tahun 2006.
Tabel II. Tingkat Pendidikan Formal Anggota BPD Di 4 (Empat) Desa dari beberapa Desa se-Kecamatan Pelawan Singkut Kabupaten Sarolangun (periode 2000-2005)
No.
Tingkat Pendidikan
Frekuensi
Keterangan
1
2
3
4
SD
SLTP
SLTA
PERGURUAN TINGGI
2
10
14
3
7%
35 %
48%
10%
    Jumlah
29
100%
                  Sumber Data : Data Monografi Kukerta Unja 2004-2005.

III. PENUTUP
3.1. Kesimpulan
3.1.1   Dari penjelasan yang telah diuraikan diatas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa dalam penyelenggaraan pemerintahan desa secara yuridis ( Peraturan pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa ) terdapat konsep pemisahan kekuasaan ”trias politika” yaitu lembaga eksekutif ( Kepala Desa beserta perangkat-perangkatnya), lembaga Legisatif yaitu Badan permusyawaratan Desa dan yudikatif yaitu lembaga adat. Dalam hal ini BPD mempunyai fungsi, Tugas dan wawenang sebagaimana layaknya DPR/DPRD sebagai lembaga legislatif dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.         
3.1.2  Kemudian secara empiris BPD belumlah berperan sebagaimana mestinya, karena disebabkan beberapa faktor pendukungnya belumlah terpenuhi secara sempurna, antara lain ketidak pahaman BPD tentang susunan dan kedudukannya, kurangnya sosialisasi dan tingkat pendidikan anggota BPD yang masih rendah.
3.2. Saran
Menurut penulis secara yuridis dan empiris pemerintah daerah hendaknya tidak hanya terpukus pada pelatihan-pelatihan saja tetapi lebih mempokuskan pada pembinaan dan pendampingan terhadap anggota BPD dalam menjalankan fungsi, tugas dan wewenangnya yaitu dengan strategi pemberdayaan pemerintahan desa dalam konsep pembangunan immaterial atau non pisik.




















DAFTAR PUSTAKA

Arfa’i, 2007. Sekdes PNS, bisa memicu kecemburuan (opini di Jambi ekspres). Jambi Ekspres, Jambi.
Bayu Surianingrat, 1981. Pemerintahan dan administrasi Desa. Aksara baru, Jakarta.
HAW. Widjaja,2001. Pemerintahan Desa/ Marga Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah (Suatu Telaah Administrasi). Raja Grapindo Persada,  Jakarta.
Irawan Soejito, 1989. Tekhnik Pembuatan Peraturan Daerah. PT. Bina Aksara, Jakarta.
Ismail Sunny, 1986. Pergeseran Kekuasaan Eksekutif. Aksara Baru, Jakarta.
Josep Riwo Kuho, 1998. Prospek Otonomi Daerah. Rajawali Pers, Jakarta.
Laode Husen, 2005. Hubungan Fungsi Pengawasan DPR dengan BPK dalam sistem Ketatatnegaraan Indonesia. CV. Utomo, Bandung.
Morrisan,2005. Hukum Tata Negara Republik Indonesia Era Reformasi. Ramdina Prakarsa, Jakarta.
M. Solly Lubis, 1975. Asas-asas Hukum Tata Negara. Alumni, Bandung.
Rahmad Murboyono, 2001. Bahan ajar Pengantar Ilmu Pendidikan, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jambi. Jambi.
Talizuduhu Ndraha, 1999. Dimensi-dimensi Pemerintahan Desa. Bina Aksara, Jakarta.
--------------- Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
--------------- Undang-undang Nomor 22 tahun 2003 tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD.
--------------- Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa.
---------------Kepmendagri  Nomor 29 tahun 2006 tentang Pedoman pembentukan dan Mekanisme Penyusunan Peraturan Desa.


[1] Arfa’i, SH.MH. Dosen Fakultas Hukum UNJA, Jurusan Hukum Tata Negara.
[2] Disampaikan Pada Kuliah Hukum Pemerintahan Desa, Fakultas Hukum Universitas Jambi, 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar